Minggu, 25 Desember 2011

Selalu Ada Rasa Manis Di Ambon

Oleh : wirol haurissa


Hidup bagai roda yang terus berputar. Datang dari masa lalu ke masa kini dan terus ke masa depan. Matahari terbit dan tenggelam di Tanah Ambon. Banyak perjumpaan terjadi, kendati juga dibumbui suka dan duka.

Hari Rabu, 14 Desember 2011 pukul 23.00 malam, saya bersama John Lakburlawal, Alberth Akollo, Maryo Nussy, Rey Latumeten dikejutkan dengan info “keadaan Ambon memanas.”

Kami baru saja istirahat seusai membuat lukisan dinding di Kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Seorang Brimob yang berjaga di kampus bertanya kepada kami.

“Dong mau pulang ke mana ?”

“Maranatha,“ jawab saya.

Kami tahu, apa maksud Brimob tersebut. Saya dan teman-teman kemudian berjalan meninggalkan kampus di Jalan Ot Pattimaipau tersebut.

Kami melewati beberapa pos penjagaan aparat di Tanah Lapang Kecil. Nampaknya, penampilan aparat agak berbeda. Biasanya mereka duduk santai tanpa senjata di tangan. Malam itu, mereka berjaga menggunakan senjata lengkap. Semakin jelaslah bagi kami, bahwa malam ini, wer seng bae.

Di tengah jalan, dalam kegelapan malam dan warna temaram, kami merasakan ada ketegangan di berbagai tempat dalam kota. Terus terang, kami merasa takut juga berada di kota tercinta ini.

Tapi kami terus berjalan ke arah pertigaan Gereja Rehobot. Di sana, terlihat orang-orang berkelompok di sisi jalan. Wajah-wajah mereka sangat serius.

Kami berpisah di pertigaan Rehoboth. Saya tetap bersama John sedangkan Maryo, Alberth, dan Rey ke tempat tinggal mereka di Kudamati dan Air Salobar.

Saya dan John melintas daerah Batu Gantung menuju Petak Sepuluh. Orang-orang ramai di sepanjang jalan. Mereka nampak tegang dengan beragam informasi simpang-siur. Kami bisa mendengar dari suara mereka yang ngobrol secara berkelompok.

Kami berjumpa Andre Peruru, seorang rekan yang ingin pulang ke Skip. Saya menyatakan niat melewati Waihaong. John keberatan karena kelelahan dan ingin cepat-cepat tidur. Sebab itu dia naik ojek. Sedangkan Andre memilih berjalan kaki melewati Kampus PGSD di Jalan Dr Latumeten.

Saya berjalan kaki, sendiri saja ke Waihaong melalui Perigi Lima. Tak disangka, saya berjumpa seseorang yang sepertinya sudah saya kenal. Pemuda itu juga menatap saya, dan nampaknya dia ingin mengatakan sesuatu.

“Ale ini, ibu guru punya anak, kan ? Masih kenal beta ?” katanya.
Saya mengangguk, sambil menerawang ke masa lalu. Saya memang mengenalnya.

“Ale nama Idris, kan ?” Saya ingat sekarang. Saya dan Idris adalah sahabat masa kecil di SD Hang Tuah Halong. Sudah 12 tahun kami tak pernah berjumpa, sejak lulus SD.

Kami bersalaman dan sama-sama merasa senang atas perjumpaan ini. Idris mengaku tinggal di Kampung Pisang, Poka. Kami menyusuri sepanjang jalan Waihaong. Tiba-tiba sahabat asal Buton itu menawarkan supaya kita mencari sesuatu untuk dimakan.

Kami berdua memilih makan sate gerobak di sisi jalan, sambil bercerita tentang masa lalu sampai masa kini, tentang studi dan situasi Ambon. Setelah itu, saya dan Idris melangkah perlahan, sampai berpisah di Jalan Kapitan Jongker.

Saya tiba di Jembatan Pohon Puleh, terus sampai ke Tugu Trikora. Orang-orang dan aparat keamanan terlihat di ujung Jalan Air Mata Cina, Lorong Pohon Puleh, Jalan Baru, Lorong Kolonel Pieters.

Saya melanjutkan perjalanan sampai di depan Hotel Amboina. Fileks Talakua muncul mengagetkan saya.

“Bagaimana bro, keadaan kota ini ?” ujarnya

“Baik-baik saja. Hanya ada banyak orang di pinggir jalan,” jawab saya.

Sampai di Bailoe Oikumene, ke ruang Balitbang, saya kembali dengan John. Sejenak duduk, saya langsung istirahat menunggu besok untuk beraktivitas lagi. Saya bersyukur hari ini bisa menyelesaikan beberapa tugas, dan yang paling berkesan, bisa bertemu sahabat masa kecil Idris, justru di Waihaong pada saat malam sudah larut dan tak ada lalu-lalang orang di situ.

***
Matahari menyinari Kota Ambon, 15 Desember 2011. Saya harus ke kampus mengikuti kuliah, namun ketika keluar di Balitbang GPM, saya melihat kerumunan orang di jalan dengan suara-suara keras.

Saat mendekat, saya tahu ada sopir-sopir angkot dan orang-orang lain berdemonstrasi. Mereka melewati beberapa ruas jalan di Ambon. Mereka berhenti di Pos Lantas, melampiaskan emosi pada rambu-rambu lalulintas. Mereka melanjutkan aksi di Kantor DPRD Kota Ambon.

Rupanya, mereka ini adalah para sopir angkot dan keluarga dan kenalan Rivaldo Petta. Rivaldo adalah sopir angkot Kudamati, yang tewas setelah ditusuk orang tak dikenal.


Alex, juru bicara demonstran tampil ke muka. Dia mempertanyakan jaminan keamanan di Ambon. Kemarahan dan kata-kata yang keras dilontarkan. Ketua DPRD Kota Ambon Rein Roumahu merespon tuntutan mereka.

“Kami akan mengundang Kapolda, Kapolres, dan Dandim untuk rapat bersama membicarakan tuntutan ini, dengan mengikutkan perwakilan pendemo,” katanya.

Di Polda Maluku, demonstran juga menuntut penegakan hukum. Kapolda Syarief Gunawan berjanji akan mengusut kasus penusukan Rivaldo Petta.

Ketua Sinode GPM John Ruhulesin juga hadir di Mapolda. Ia menyerukan demonstran tetap menjaga keamanan, sambil mempercayakan penegakan hukum kepada pihak kepolisian.

Keadaan memanas sekitar pukul 11.40, ketika aparat brimob dan tentara bersenjata lengkap berupaya menghindari gesekan massa sepanjang perjalanan pulang. Hampir satu jam, aparat bekerja mengarahkan pendemo untuk kembali ke Kudamati.

Saya pulang dan merasa lebih tenang. Walau kondisi Ambon tidak nyaman akibat hiruk-pikuk demonstran yang emosional, terasa damai tetap ada. Orang-orang tetap berbaur di tempat umum, rumah kopi, bank, pasar dan sebagainya.

Ketika banyak orang pesimis dan sedikit “memarahi” warga Ambon melalui jaringan media sosial, saya merasa jalan-jalan terang masih tetap terbentang luas. Di tengah suasana yang panas, saya menikmati betul Kota Ambon yang tak hanya manis dalam lagu, melainkan juga dalam perjumpaan setiap hari dengan beragam orang. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

Kamis, 22 Desember 2011

Hujan Berkat Untuk Badati Damai

Oleh : Wirol Haurissa

HUJAN rintik-rintik berganti panas. Tepat pukul 17.00, saya dari Balitbang menuju Gong Perdamaian Dunia di Ambon. Dengan sepeda motor, Rifky Santiago membawa saya ke sana, untuk mempersiapkan acara Badati (bage-bage dari timur) yang digerakkan anak muda Muslim dan Kristen.

Di Gong Perdamaian, matahari bersinar dan hujan reda. Cahayanya menikam tajam. Saya masih sendiri karena Rifky pergi ke The Street, café di Jalan AY Patty.

Saya menunggu teman lain. Fileks Talakua dan Frans Nendissa datang membawa baliho berwana biru bertuliskan Refleksi Badati. Kami bertiga pun memasangnya di kedua tiang tempat duduk berwarna kuning dan hijau.

Sambil memasangkan baliho, dari kejauhan, Ipeh Alaydrus, Arief, Christian Tomahua dan teman-teman lain. Mereka berhenti sejenak di halte yang baru dibangun. Saya bingung , mengapa mereka berhenti. Oh, ternyata hujan datang lagi.

Saya memandang langit lalu berpindah ke arah monument Pattimura. Mata saya menatap sebuah fenomena alam “pelangi” indah di kota Ambon “inilah janji Tuhan bukan untuk hujan namun untuk damai dalam kasih.

Hujan berhenti, lalu kami bekerja. Saya kembali ke Balitbang. Malam pun datang. Saya melihat para muda dari Kate-Kate tiba di Baileo Oikumene. Mereka nampak antusias. Sementara di Balitbang, hujan turun lagi.

Hujan tak mematahkan semangat kami. Johan Lakburlawal dan Rey Latumeten datang mengambil peralataan dan kembali ke tempat acara. Berselang beberapa menit hujan berhenti. George Marcel menemani basudara dari Kate-Kate menuju Gong Perdamaian.

Saya masih menunggu di Baileo Oikumene. Rasa lapar menuntun saya pergi makan di tenda biru nasi kuning. Berturut-turut, Rudi Fofid dan Jacky Manuputty datang. Kami bertiga duduk. Setelah selesai makan, kami menuju Gong Perdamaian. Hujan turun terus-menerus. Saya, Rudi Fofid, Jacky Manuputty berjalan kaki. Sambil cepat jalannya, saya mengatakan kepada Jacky Manuputty.

“Bapa tutup kapala, tar lama sakit”

Jacky menjawab santai. “Lia gunung tana lalu game-game.”
Perjalanan kami dipenuhi canda tawa. Jacky menyanyikan “Hujan Berkat kan Tercurah”.

Sambil ikut bernyanyi, tibalah kami di Gong Perdamaian dengan kegembiraan. Saya masuk area gong untuk kedua kalinya. Di situ saya bertemu dengan basudara Muslim-Kristen.

Hujan besar dan tempat untuk bersilah menjadi basah. Fransceco Sahulata dan Ronny Tamaela membersihkan lantai. Saya mengikuti mereka dengan irama lagu-lagu Ambon. Saya meminta Ronny bergantian dengan saya menyelesaikan pekerjaan itu. Di antara aktifitas membersikan lantai, teman-teman lain sedang berbicara berdua, bertiga dan berempat, bahkan berlipat-lipat dalam perjumpaan yang dilakukan sampai pekerjaan selesai. Saya berjalan ke arah Muhammad Latupono dari Air Besar dan bersama Jack dan Arap Tomasoa dari Mangga Dua.

Jam 08.28, momen yang ditunggu-tunggu dimulai. Micky Joseph mulai mengajak basudara jantong hati duduk bersilah beralaskan koran. Dari berbagi pos dan komunitas mengambil tempat dengan manggunakan pita.

“Badati untuk damai” dimulai dengan laporan panitia yang disampaikan Rais Rumalutur. Acara pun mengalir, dengan narasi damai “Nilai SMS Almascatie” oleh Aprino Berhitu. Dia menggambarkan persahabat dan hubungan antara basudara Muslim dan Kristen. Keduanya saling menyapa.

“Saya mencintai keluarga kamu. Jagalah baik-baik mereka”

Puisi oleh George Marcel dan Ghi Palembang di tuturkan. Sungguh menyejukan hati dengan gaya mereka berdua yang berbeda”Di Sebuah penantian” merindukan kekasih yang mendamaikan.

Sesaat selesai membacakan narasi, hujan turun kembali, namun teman-teman dan basudara Muslim Kristen tetap bertahan.

Refleksi dimulai dengan Weslly Johannes mengajukan tiga pertanyaan dan respon serta carita-cerita tentang kejadian 11 september menjadi pelajaran bagi kami semua. Saya masih mengingat kata Rido Pattiasina.

“Biarlah tangan anak saya menjadi tumbal untuk kedamaian kota Ambon,” paparnya.

Teman-teman dari pos-pos jaga, mengisi refleksi badati menjadi kenikmatan kopi. Saya sempat mendengarkan seorang muda bernama Ali Topan dan seorang perempuan Muslim berkata tentang damai

“Damai itu katong jadi mari berdamai dulu," Soal urusan rumah, panci, tacu dan peralatan dapur urusan belakang. Damai dari hati. Kita ini, biar muka itam, yang penting hati putih”.

Hujan berhenti dan sambil berdiri, saya diberikan satu batang lilin oleh Fanny Diaz. Saya pun membakarnya. Lilin dinyalakan. Semua peserta memegang lilin dalam suasana doa dari Bahasa Tana oleh Rudi Fofid dan Bahasa Indonesia Elsye Syauta.

“Pasawari Damai.” Esa: Harori sou wauwe uwa, kupa naim upu upu, inaku amaku, hua asa aman, mau tampa siri mau inu lala, saka eti

“satu: biaralah sumpah persaudaraan yang diucapkan lidah Datu-datu dan para leluhur kami dari negeri asal kami baik dalam tampa siri atau minum darah tetap terjaga”.

Tak tersadar saat membacakan doa dalam bentuk puisi, burung-burung berterbangan di atas mereka. Ketika doa masih dipanjatkan.

“Eti’i yami, yami ana’i alifuru, ana’i upu taholaini upu yama esse nunu jela lahui unu nusu asa ku, yami peki hena masa hiti’i Toan Agong Nen Butri Dit Sakmas yami anai Malessy Kabasarang Atuf, malona kabaressy Etnebar sei yami olo’o latane, kura wahe lanite Nusa Ina, Uliaser, Nusa Aponu, Nusahalawanno, Evav, Etnebar, Bela, Tuban, Goa, esa tana, esa aman, esa lala!

Inilah kami, kami anak cucu Alifuru, anak matahari dan ibu bulan dilahirkan dari Unu Nusa Asa Ku, kami para pemegang hukum adat yang dibawa Dipertuan Agung Ratu Dit Sakmas, kami para penerus pahlawan besar Atuf, laki-laki pemberani dari tanimbar, siapapun kami yang menapaki latane, dan menjunjung lanite, Nusa Ina, Uliaser, Nusa Aponu, Nusahalawanno, Evav, Etnebar, Bela, Tuban, Goa, satu tanah, satu negri, satu darah!

Bulu kuduk saya berdiri mendengar bahasa nenek moyang ini. Lalu kami mengheningkan cipta untuk orang-orang yang menjadi korban konflik di Maluku, khususnya di Ambon dan para pahlawan perdamaian.
Begitu nikmat syair-syair yang di bacakan. Sangat menyentuh di tengah kegelapan.

"Lilin itu matahari dan semua pun membakarnya menedukan air hujan”

Para muda dari Cidade Amboina bernyanyi tentang damai. Dalam lagu mereka mengajak “basudara untuk berpelukan dan menjatuhkan parang”. Saya berdiri dekat Maryo Nussy. Maryo sempat berkenalan dengan Wiwi, gadis manis berjilbab. Sambil saya melihat laga Maryo menanyakan nama perempuan itu. Keduanya terlibat percakapan pendek, sampai akhirnya Wiwi harus masuk ke area panggung untuk mementaskan teater embun.

White for Peace. Mereka masuk gerak olah tubuh masing-masing. Terlintas oleh pengamatan saya dua pasukan berperang saling berlawan dan akhirnya berdamai. Suara terdengar dari pemain Teater Embun, meneriakkan“Beta Pattirajawane yang dijaga datuk-datuk”.

Momen penting ini telah selesai namun kenangan damai berkumpul orang basudara Muslim Kristen tetap menjadi sukacinta kita bersama untuk Ambon yang damai.

Saya dan beberapa teman bersyukur dalam doa yang dipanjatkan Ghi. Kami lalu berjalan menuju Litbang. Saya dan Rudi memilih berjalan kaki sedangkan yang lain menaiki mobil pikc up.

Maryo dan Rey berjalan di belakang. Dengan suara nyaring di belakang kami, Maryo membacakan puisi yang tadi dibacakan Rudi. Sepanjang jalan dari depan pos tentara sampai Baileo Oikumene, Maryo terus menggema dengan lantunan suaranya.

“Tahuri kolo lae murkele latane, lanite, saka messe ite hala makina eti aman” Tahuri sudah babunyi di Binaya, Tifa sambut dari Murkele, Bumi, langit, jaga dan petahankan maksud bae katorang dalam negri ini”

Ada beberapa orang mendengarkannya dan berkata: “bala nyong jang ragu-ragu”. Di atas sepeda motor yang dikendari oleh orang-orang tidak di kenal menikmati suara Maryo. Mereka melambaikan tangan dan kaget.

Sampai di Baileo, waktunya kami harus berpisah. Johan, Yezco, Shuresj mengembalikan alat-alat. Wajah lelah tapi hati damai. Saya masih melakukan tugas terakhir, mengantar seorang nona Ambon ke rumahnya. Hujan lagi. Kami meluncur di atas jalan aspal yang licin. Saya merasa butiran hujan di kepala seperti mencurahkan damai. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

Kemesraan dalam Sebungkus Nasi Kuning

Oleh Wirol Haurissa

Orang Ambon baku sayang. Kata sayang berkonotasi mesra.  Banyak orang mengaku saling sayang, namun tak banyak yang melakoninya secara tulus.  Apalagi, sayang  di sini tak ada hubungan dengan asmara.
Maryo Macho Nussy dan Iglyma Ghie Palembang adalah sebuah cerita baku sayang yang menggetarkan. Keduanya duduk berdekatan, di bawah langit malam Kota Manise. Ghie menyuap Maryo dengan santapan nasi kuning begadang.

Nyong dan nona Ambon beda suku dan agama ini, baru berkenalan di Baileo Oikumene. Esoknya, keduanya bertemu kembali dan langsung mesra. Oh, jangan salah sangka. Mereka berdua hanya mengekspresikan sukacita, bagai dua sahabat lama yang saling rindu.

Saya, Macho, Ghie, Christian Tomahu, Abdul Latif Tihurua, Tirta Triana, Elsye Syauta, Berry Nepa, Syarifah Alaydrus, Raisno Rumalutur, Mansur, Mustafa, George, Syaiful Wakano, Arifudin berkumpul di depan Baileo Oikumene Jalan Pattimura. Kami bersama-sama menjalankan aktifitas Coffee Badati.

Kami melakukan perjalanan mengunjungi pos-pos penjagaan di daerah perbatasan. Sebelum berangkat kami menyiapkan semua bahan-bahan yang akan dibagikan di setiap pos.

Saat itu, beberapa teman memilih menggunakan kendaraan roda dua dan lainya memakai mobil. Saya belum naik mobil, karena sambil menatap banyaknya kendaraan yang melintas. Saya berdiri terpana meilhat sahabat Yezco yang tak tenang.

 “Yesco lapar,” katanya.

Di atas mobil pickup. Yezco melahap nasi kuning. Walau makanan belum ludes, dia sudah turun sebab kami segera berangkat.  Nasi yang tak sempat dihabiskannya diserahkan kepada Macho. Ghi yang belum naik, meminta Macho menariknya ke atas mobil.

Di atas mobil dengan bak terbuka, Macho nampaknya akan menghabiskan sisa nasi kuning. Tiba-tiba Ghie memperlihatkan minatnya.

“Beta mau makan lai,” ujar Ghie.

Ghie dan Macho lantas berbagai nasi kuning. Keduanya duduk berdekatan, sedangkan kawan-kawan lainnya mengambil posisi di samping  kanan dan kiri.  Macho memberikan nasi bungkus itu kepada Ghie dengan wajah riang. Ghie langsung mengambilnya dan menyuap Macho. Maka berbalas-balaslah Macho dan Ghie.

“Pung enak apa jua, kalo katong hidup bagini,” cetus Ghie.

“Iya sodara e,” kata Macho.   

Kata-kata yang menyentuh hati kami semua.  Saya sendiri tak tahu apakah kalimat Ghie didengarkan teman-teman lain.

Malam itu saya merasa kebahagian bersama teman-teman. Kami tampak bersahabat, dan banyak pelajaran berharga. Senyuman, keceriaan Caca Salam/Muslim dan Nyong Sarani/Kristen membuat dalam sebuah perjalanan.  Kami berjumpa, kami berdialog, satu percaya satu.

Perbedaan tidak lagi menjadi penghambat. Kemesraan Macho dan Ghie menjadi seindah bunga di taman. Macho si cowok Benteng, adalah sosok  yang luwes bergaul dan dinamis. Sedangkan Ghie adalah nona Waihaong yang murah hati dengan senyum yang natural. Paduan yang indah.

Di perjalanan itu,  kami sempat diskusi kecil-kecilan. Ghie  menyebutkan, damai adalah situasi saling percaya, seperti keimanan.

“Ketika iman besar, maka apapun yang terjadi, kita tetap percaya. Karena itu adalah proses kehidupan. Mari lakukan dengan hati,” paparnya.

Macho juga punya pendapat.  Menurut dia, damai itu indah dan tidak ada manfaat bermusuhan.

“Katong samua bersaudara. Kalau katong bikin masalah, katong yang susah. Katong adalah damai.

Coffee Badati adalah cara kami berbagi. Bukan dilihat dari kopi, gula, kue, lagu  dan puisi.  Sebab ada yang lebih penting. “Menjadi bagian dari perjumaan itu, membuat saya senang bertemu siapapun,”  kata Pak Andi di kawasan Pohon Mangga, Air Salobar.

Perjalanan saya, Macho, Ghie dan teman-teman lain adalah sebuah keunikan. Saya bagai merasa ingin terus berada dalam perjalanan ini.  Perjalanan Coffee Badati yang mesra, tulus dan damai.  Bukan cuma Macho dan Ghie, tapi katong semua di Ambon.  Sebuah perjalanan menerobos perbedaan, dan selalu tiba di titik harmoni, damai sepanjang masa. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

Menjaring Gosip di Kota Damai

Oleh : wirol haurissa

Sebenarnya, Ambon Manise adalah kota yang damai.  Di sini, semua orang adalah sahabat dan saudara. Ke manapun pergi, pasti berjumpa orang-orang yang akrab karena saling kenal.  Tegur-sapa yang natural adalah sebuah tanda. Tak sembarang orang bisa mati sia-sia. Kalau satu orang saja mati, itu menjadi berita besar di media.

Walau konflik pernah meluluhlantak kota ini, namun kedamaian telah menjadi karakter dan cita-cita sepanjang masa. Tak ada orang Ambon yang ingin bernafas dalam perang yang bodoh. Sebab itu, pasca peristiwa 11 September, aura damai menebar di mana-mana.

Tapi memang, sepotong gosip masih ampuh mengusik kedamaian di Ambon. Seperti hari itu, saya masih bekerja dengan teman-teman di Batlibang GPM, di Baileo Oikumene. Udara panas di ruang tanpa AC itu. Angin dari cela kaca, tak mampu membawa kesejukan. Tapi seperti biasa, kami tetap bekerja walau kadang terlambat makan, dan tidak mandi.

Pukul 15.03 wit,  seorang teman. Frests Mouw datang dengan wajah tegang.  Saya menangkap sesuatu yang tak beres.  Tapi dia juga tak bisa memberi penjelasan.

“Ale turun lalu lihat saja,” katanya. 

Saya langsung meninggalkan kantor Balitbang GPM. Begitu sampai di Jalan Pattimura, situasi bagaikan pasar. Ramai luar biasa. Saya terus berjalan sampai bertemu Aprino Berhitu dan Mario Nussy.  Keduanya nampak serius, tak ada senyum.

Kami bertiga menyaksikan arus manusia yang panik. Mereka datang dari arah Plaza Ambon dan terminal Mardika menuju Gereja Maranahta. Maka Aprino dan Mario memutuskan bergerak ke Plaza Ambon, sedangkan saya mengecek ke Terminal Mardika.

Saat berjalan di tengah keramaian, saya mencoba mengorek informasi dari seorang anak muda.

“Katanya ada baku lempar di terminal,” terangnya.

Orang-orang terus berlari. Saya kembali bertanya pada beberapa orang dalam perjalanan ke terminal, dan  mereka memberi jawaban yang sama, tidak tahu.

Semua orang nampak gelisah, ditambah hari semakin panas. Orang-orang mengeluarkan komentar-komentar pendek tentang kejadian di terminal. Saya mempercepat langkah.

Di dekat terminal, seorang ibu-ibu berkerudung nampak mengomel tentang keadaan itu. Sementara udara kian panas. Para pedagang, sopir, tukang ojek dan tukang becak berkerumum di satu titik. Wajah-wajah mereka terkesan lelah dan lesuh sekaligus marah dan kecewa.

Sebelum memasuki terminal, saya tersentak. Seorang perempuan dan anaknya yang masih kecil, membawa karung besar sambil memikulnya dan berlari kelelahan. Ternyata di dalam karung itu terdapat berbagai bekas minuman plastik. Sambil memikul karung, ia mengendong anaknya.

Sepanjang pinggiran kali nan indah menuju ke terminal, saya keget ketika tiga perempuan berjalan dari terminal menuju jembatan dekat kantor Pekerjaan Umum, saya pikir mereka tahu kejadian di terminal. Makanya saya langsung bertanya, apa gerangan yang terjadi. ''orang mabuk,'' jawab salah satunya.

Di terminal, saya mulai pada fokus pencarian. Apa penyebab utama kepanikan ini. Seorang pria mengatakan, kepanikan di terminal bermula dari adanya kasus pencurian.

''Ada orang pancuri,'' terangnya.

Pukul 15.16 wit, saya melihat seorang anggota intel. Kami dua berpapasan. Dia  lantas berbicara dengan para pedagang di sana. Saya berdiri di belakang si intel sambil terus mengikutinya. 

Ketika intel mengorek informasi, saya juga bertanya ke pedagang lainnya.  Seorang bapak ragu-ragu memberi jawaban. 
Tapi seorang perempuan di sampingnya memberi keterangan.

“Ada empat perempuan baku tola di sini.  Ada beberapa ibu dari arah berlawan melihat dong empat, akhirnya ibu-ibu itu berbalik arah dan lari diikuti keempat perempuan itu. Angkot lin III dan Kudamati pun melaju keluar terminal dengan cepat, akhirnya semua mengikuti rame-rame berlari,” jelas perempuan itu."

Cerita perempuan tadi menarik perhatian intel tadi. Dia bergeser dan akhirnya mengajukan pertanyaan kepada perempuan cantik penjual pakaian itu. Melihat itu, rame-rame para pedagang mendekati intel, dan menjelaskan sebab-musabab kepanikan di terminal.

Cuaca masih tetap panas. Wajah-wajah tegang terlihat di mana-mana. Saya memutuskan meninggalkan terminal. Kali ini, banyak kepala terlihat mengarah ke angkasa. Gumpalan asap hitam dari arah hotel Golden telah mengalihkan perhatian semua orang.

Isu makin kencang dan wajah orang-orang makin tegang.  Saya mendekati titik api. Gumpalan asap ternyata berasal dari toko bangunan, yang menyalakan bagaikan batu bara di dapurnya.

Saya kembali ke Balitbang GPM. Kawan-kawan ada di sana bersama banyak orang yang tidak saya kenal. Saya menenangkan diri dengan mengatur pernafasan.

“Bung, apa yang terjadi di terminal,”  mereka bertanya.

Saya menjelaskan bahwa situasi terminal aman dan terkendali. Saya merinci sebab-sebab kepanikan di terminal dan semua kawan lega.

Ketika mengaktifkan internet, saya melihat teman-teman diluar Ambon menulis difacebook.  “Ambon e, kanapa kaco lai, belum-belum damai lai.”  Tak lama menunggu saya Saya langsung  menulis status di facebook. “ Ambon aman dan terkendali | salam damai dari timur Ambon.”  Saya pun terus memberi informasi dengan menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang puas dan ketika tiba pukul 16.00 wit, situasi sudah kembali normal.

Senja akhirnya datang dan inilah kesempatan bagi semua yang tegang untuk menenangkan diri. Saya dengan kawan-kawan anggota tim Provokasi Damai. Bung Wessly Johannes, Aprino Berhitu, Ipeh Alidrus, Ronny Tamaela, Imanuel Souhaly, Tommy Renleuw, Maryo Nussy.

Malam pun turun membungkus. Langit Ambon jadi hitam tapi penuh bintang. Sukacita melanda kami sebab di antara kami, ada Ipeh Alidrus.  Dia menjadi bintang sebab hanya dia perempuan dan juga Muslim.

Kami memilih makan malam di Jalan A.Y. Patty, di rumah makan Coto Anda yang terkenal. Di sana sudah ada Bernhard Matheis dan Stanley Ferdinandus. Almascatie Be dan Azis Tunny datang bergabung. Jadi ramailah kami di sana.  Apalagi, empat pemuda Muslim datang menghampiri. Di antara mereka beremapat, saya hanya mengenal seseorang, Irfandi  dari Teater Embun, tiga temannya lain tidak saya kenal.  Mereka mengamen, menyanyikan lagu-lagu damai untuk mengumpulkan dana bagi para pengungsi.

Kami duduk bersama menikmati makanan dan bercerita penuh tawa dan kegembiraan.  Sungguh kami melupakan kepanikan siang tadi, bahkan konflik beberapa hari lalu. Pendeta Jacky Manuputty dan Nyora Louise Maspaitella datang membuat kami seperti sebuah tim tangguh.

Kami bercerita tentang situasi Ambon, bercanda tentang kepahitan maupun kekonyolan kami sendiri. Kami merasa kemesraan sebagai berkah dari langit.  Betapa jangan berlalu kemesraan ini, bukan saja di antara kami, melainkan untuk seluruh kota.

Perpisahan tidak terelakkan. Kami pulang dengan hati damai, melintasi jalan-jalan kota yang sunyi, tetapi menyimpan banyak kenangan manis. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

Jilbab Merah Dekat Gereja

Oleh : wirol haurissa

Kerja kerja kerja. Maka banyak energi terkuras sejak pecah peristiwa Ambon 11911. Dua hari kemudian, saya ada di Baileo Oikumene. Rasa lapar melanda, dan seorang kawan mengajak makan. Entah apa namanya, makan jam tiga sore.

Ada pelangi di langit Ambon. Indah nian. Saya dan  Francesco ''Eko''  Albertho Sahulata menyeberangi Jalan Pattimura, dari area Gereja Maranatha ke Hotel Mutiara. Kami bukan ke restoran melainkan pedagang makanan gerobak dorong di jiku Jalan Dana Kopra, tepat di pintu keluar Hotel Mutiara, tengadah Bank Mandiri.

Sisa kantuk karena kurang tidur, capek dan tidak mandi membuat saya dan Eko terlihat kumal. Meskipun begitu kami tak peduli untuk duduk di belakang gerobak, sambil menyantap semangkok mie kuah dan bercakap-cakap dengan si abang penjual makanan.

"Abang tinggal di mana ?" 

"Beta tinggal di Tantui, " jawabnya.

"Abang bajual jauh e, "  Eko menimpali.

"Mau bagaimana lai, cari hidup samua ne,"  katanya lagi.

Saya dan Eko cepat saja melahap dan menghabiskan mie di mangkok. Segera setelah mie pada mangkok kami ludes, sisa rasa pedas di mulut, merangsang selara merokok. Eko meminjam korek api kepada seorang perempuan yang menjajakan rorok dalam keranjang plastiknya di samping gerobak penjual mie.

Seketika saya terpana pada sosok perempuan itu. jelas dia bukan lagi nona-nona muda. Pada saya, iya mengaku bernama Wa Baa, berusia 63 tahun dan tinggal di Batu Meja. Gurat ketuaan di wajahnya mengisyaratkan sosok pekerja keras.

Wa Baa mengenakan jilbab merah.  Bajunya batik lusuh yang motifnya sudah pudar. Celana kuning dan sandal coklat menyempurnakan profilnya sebagai pedagang asongan di jiku jalan itu. Walau nampak tua, ia terlihat tetap tegar dan setia menunggui daganganya.

''Dia pasti seorang perempuan Salam/Muslim, saya memastikan dari nama dan busananya.

Saya masih asik tenggelam dalam lamunan, ketika seseorang menyentuh tangan saya dan bertanya. ''Nyong tinggal di mana ?" Ibu itulah yang bertanya, ternyata.

''Saya tinggal di Halong, Mama,'' jawab saya.

''Sudah bekerja ?''

''Belum. Saya masih kuliah,'' kata saya lagi.

Kami lalu terlibat percakapan lebih jauh. Dari situ, Wa Baa pun lancar bercerita tentang hidupnya sehari-hari di Batumeja. Sebagai orang Salam, dia mengaku tidak cemas tinggal di Batumeja yang mayoritas orang Sarani.

Wa Baa bercerita tentang anak gadisnya yang bungsu, kini bersekolah di SMA Negeri 1 Ambon, sedangkan kakak-kakaknya berdagang kecil-kecilan.

“Sakarang dunia su paleng susah apalagi bapak sudah meninggal, lalu sapa yang mau biayai uang kuliah,” tuturnya.

“Nyong e, katong cari hidup ini susah jadi jang sia-siakan,”  tambahnya lagi.

Sejenak saya terpana pada luncuran kata-kata dari bibir Wa Baa yang terlihat garisan keriputnya. Hal itu menggoda saya untuk mengajukan pertanyaan yang sangat agak Sensitif. Sebelum kami kembali ke Baeleo Oikumene.

''Mama, ini kan masih suasana kerusuhan. Mama seng takut kah ?

''Beta baik dengan orang-orang Sarani dan orang Sarani baik kepada Salam,'' terangnya.

''Hidup ini harus atur bae-bae, tidak usah kaco-kaco kaya sakarang. Katong harus baku sayang, baku pegang tangan antar Salam-Sarani. Kalau lia di TV ada lagu gandong, beta rasa mau manangis  ingat keadaan sakarang” kata Wa Baa.

Masih banyak kata-kata yang ingin keluar dari mulut si perempuan tua berjilbab merah itu, namun saya dan Eko sudah harus kembali ke Baeleo Oikumene, tempat kami beraktivitas. Sambil bekarja, wajah Wa Baa, juga kata-katanya, terus terbawa.

Bayangan wajah perempuan tua dan tegar itu, mendorong  saya mengetik kisah kecil  ini. Seorang perempuan tua berjilbab merah, menjinjing keranjang rokoknya di sekitar kompleks Gereja Maranatha. Sambil menggerus hati saya dengan kata-kata penuh damai. Wa Baa, perempuan damai. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

Perjalanan di Tengah Ketegangan

Oleh wirol haurissa

Kecerahan mentari menjadikan Ambon Manise menjadi kota indah di Timur. Berbagai aktivitas orang-orang lakukan dengan sentuhan kegembiraan. Tampak terasa saya ingin berbaur dengan mereka, dan waktu menujukan pukul 12.23 wit. Saya harus segara ke Gunung Mimpi.

Dari rumah, saya berjalan kaki menuju ke jalan raya. Tepatnya di depan Pos Latta, menunggu angkot dan menuju ke arah Terminal Mardika. Perjalan dipenuhi anak-anak, remaja, pemuda mau pun orang dewasa. Rasanya lama sekali, saya menunggu angkot yang lewat. Jalan begitu ramai namun tiba-tiba sepi.

Saya tak tahu apa penyebabnnya. Dengan tetap setia menunggu, angkot pun datang menghampir. Warnanya biru seperti biru langit yang tak ada awan. Dua jam lebih baru saya berhasil naik angkot. Dalam benak, ribuan pertanyaan belum terjawab. 


Sambil angkot berjalan. Saya menadapat kabar dari kakak yang berada di daerah pusat kota sudah tegang. Keinginan saya pergi ke Gunung Mimpi untuk BerSamPlas “bersih sampah palastik” ketika mendengar kabar di Waihaong dan Trikora tegang. 

Saya tahu dengan jelas hari ini "Minggu, 11 September 2011"orang-orang yang ramah berubah manjadi marah. Cuaca cerah diselingi dengan bertambah isu-isu provokasi yang menghancurkan. Saya sendiri tidak percaya akan isu tersebut dan tetap memilih ke Amahusu “Gunung Mimpi” melewati pusat kota.

Di pertengahan jalan. Saya berhenti di Tantui “Lampu Lima”. Angkot yang membawa saya dan penumpang lain telah berhenti, diikuti beberapa angkot dan mobil pribadi lain. semuanya berbalik dan tidak bisa melewati daerah Galunggung, Batu Merah.

Saya turun dari angkot dan berdiri di pinggiran jalan dmenunggu angkot yang lain. Dua kali menunggu, saya bertemu dengan seorang teman Muslim disekitar aera itu yang sama-sama menunggu angkot. 


Berselang beberapa menit, saya bertanya kepadanya.

“mau ke mana abang?”

“ke Galungung,” jawabnya.

Sedang bertanya. Dari kejahuan, angkot berwana merah berhenti di depan kami. Angkot jalur Hunu, kami berdua naik dan saya duduk dengan tenang sambil melihat di depan, kiri dan kanan. Betapa posisi saya berada di tengah orang-orang yang beda agama.

Mereka mamakai Jilbab dan kopiah. Rasa tegang yang jaraknya jauh, membuat pikiran saya tak tenang. Namun saya tetap memberanikan diri dan berbicara seperti biasa dengan mereka. Saya disambut baik karena mungkin raut wajah yang kelihatan seperti orang muslim. Mereka sendiri tidak tahu dengan kejadian di kota.

Sambil asik mendengar cerita mereka. Seorang ibu mendapat kabar lewat handphone.
 
“Kota sudah semakin tegang akibat meninggalnya seorang lelaki dari Waihaong,” kata ibu.

Kami yang berada di dalam angkot menjadi lebih tak tenang. Seoarang laki-laki dengan terburu-buru bertanya kepada ibu berjilbab itu?.

 “Ibu, lelaki itu dibunuh di Gunung Nona tapi hasil oktopsi lain kalau lelaki tersebut tak sadar dan menabarak pohon gadihu, langsung ke arah tembok rumah seorang masyarakat di situ”.

Mendengar hal itu, saya memilih tenang-tenang saja. Angkot yang saya tumpangi tiba-tiba berhenti di depan kantor Pajak Galunggung. Saya turun bersama orang-orang di dalam angkot. Ucapan “terima kasih” tidak lupa saya sampaikan kepada supir. Lalu berjalan kaki sepanjang turun-turun Batu Mareh. 

Saya tetap percaya diri dan terus berjalan. Di pertengahan turun-turun Batumerah, saya bertemu dengan orang-orang asing “tak dikenal.” Keadaan semakin tak menentu dan niat tulus membuat saya menyapa setiap orang di jalan supaya mereka bukan orang asing.

Masih tetap berjalan, dan bertemu seorang anak muda yang tidak saya kenal.

“abang apa yang terjadi sampai buat  banyak orang ada di jalan-jalan?” tanya saya.

“ada kaco di Waihaong,” jawab saya.

Perjalanan tidak sampai di situ. Saya lanjutkan perjalanan dan bertemu dengan seorang laki-laki tua dan bertanya.

“bapak ada apa e?”

“katanya, ada laki-laki orang Waihaong pacaran dan dipukul di Gunung Nona.” jawab si bapak.

“terima kasih bapak” sambung saya.
  
Saya tiba sampai di Mesjid Batu Merah. Dekat Toko Roti dan bertemu seorang bapak lagi. dengan pertnyaan yang sama kepadanya.

“bapak, tahu kejadian di Waihaong k?”

“ ada lelaki Waihaong yang mabuk dan menabrak tempat sampah namun katanya ditikam”. Jawab si bapak.

Saya kaget dan suara lain dari seorang laki-laki muda menyambung pembicaraan kami.

“biar keluarga yang selesaikan saja jangan bikin masalah lagi.”

Saya bingung dengan jawaban-jawaban yang berbeda. Lalu saya melanjutkan perjalan selesai bertemu beberapa orang tadi menuju ke arah Swalayan Citra.

Di Citra, banyak orang jalur Baguala tidak bisa pulang. Mereka berkumpul di pinggiran jalan bersama aparat keamanan. Saya melewati citra menuju Tanah Tinggi dan bertemu seorang perempuan muda.

“usi ada apa ini?”tanya saya. 

“sudah kaco di Waihaong karena ada seorang laki-laki tatabrak di Gunung Nona saat pulang pacaran, dia tabrak tempat sampah dan kayu tertancap di punggungnya.” Jawabnya.

Pertanyaan muncul di benak dan belum terjawab dengan beberapa versi tentang korban tersebut. Kejadian yang menimbulkan konflik di Ambon. Kejelasan dari berita yang saya baca juga berbeda.

Di TV, Kapolda memperjelas bahwa laki-laki tersebut, murni kecelakan. Saya berpikir lagi dengan banyak pertanyaan tentang kejadian yang menimbulkan konflik "murni atau tidak?". Saya menemukan banyak hal hari itu dan keadaan tak bisa diterima keluarga, teman-taman akibat meningggalnya kerebat mereka.

Saya tahu bahwa kejadian tersebut bukan konflik agama tapi konflik dari kepentingan-kepentingan pribadi atau ketidakpuasan orang-orang yang tak bertanggung jawab, sehingga agama di politisasi. Banyak isu yang beredar namun apa pun isunya, percayalah hubungan baik yang terutama. 

Memang banyak versi yang berbeda tapi marilah kita tetap bersama. Sambil menulis kata-kata ini di buku catatan. Saya melanjutkan perjalan ke Hotel Amboina. Dari jauh saya melihat ke arah Trikora. Begitu banyak orang di jalan. Beberapa langka melewati hotel dan menuju ke aera kejadian, suara mengamuk dan baku lempar terjadi antar kelompok masa.

Saya melihat begitu banyak masyarakat berpartisipasi untuk menjaga daerah tempat tinggal mereka. Ibu-ibu dan anak-anak muda serta bapak-bapak ikut serta di dalamnya dan mereka memecahkan trotoar di depan rumah Kopi Tikora dan Toko Tobias.

Baku lempar terus berlangsung. Tiba-tiba, saya mendekati seorang anak muda dan bertanya kepadanya.

“tamang kenapa ale iko-iko baku lempar?”

“dari pada kecolongan,” jawabnya.

Saya menerima alasannya dan melihat apakah ada pihak kemanan atau tidak kerana di tempat kejadian hanya lima petugas yang mamakai baju coklat, celanan coklat dan rompi berwarna hijau. Pengamanan belum terlihat saat terjadinya baku lempar. Suara kekecewan dari seorang bapak sempat saya dengarkan.

“Sudah dua jam tidak ada bantuan dari pihak keamaan karena mungkin petugas sedang tidur.”

Petugas yang berada di tempat kejadian hanya menonton. Kemudian saya tetap berdiri menyaksikan panasnya kota Ambon. Lalu satu trek berwarna coklat yang di dalamnya terdapat beberapa personil aparat berbaju coklat dan celana coklat mengenakan senjata lengkap turun dari mobil dan mengamankan situasi yang tidak bisa dikendalikan.

Bukan hanya suara orang, suara tembakan juga mengiringi kejadian saat itu. Semakin ramai saja sehingga membuat Kapolda turun ke tempat TKP dan beberapa menit, Gubenur Maluku tiba. Baku lempar dan situai berubah menjadi lebih tegang dengan sebuah mobil Avanza dan mobil Box terbakar.

Gubenur, Karel Alberth Ralahalu masih berada di tempat kejadian. Beliau dikawal para petugas dan keadaan mulai membaik, ketenangan mulai dirasakan. Tak terlalu lama kwaktu penenangan jalur samping rumah kopi ke arah AY Patty. Tak sadar jalur PLN ke arah PGSD terjadi baku lempar, diselingi bunyi tembakan berulang-ulang.

Seperti film Inda saja dan artis sudah banyak di Ambon. Skenario yang bagus untuk dinikmati dunia luas dan kita sendiri seakaan sudah diseting dengan baik. Semuanya mulai terkendali, bantuan keamanan tiba, dan Walikota baru datang.

Tentara, dua trek, panser berwarna hitam dan hijau berdatangan. Masyarakat di suruh pulang dari petugas yang memakai baju loreng tapi masyarakat tidak percaya dengan aparat lagi. Masyarakat tetap bertahan dan ikut menjaga daerah tempat rumah ibadah karena ketakutan mereka akan terjadinya hal-hal yang tidak disangka. Sama dengan beberapa tahun lalu.

Masyarakat tetap bertahan. Saatnya saya ingin bergegas pulang karena banyak setan penghancurkan. Keadaan sudah membaik. Saya pulang dan akhirnya sampai rumah. Saya berpikir merelakan apa yang sudah terjadi menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat kota Ambon. Namun isu-isu berkembangan sangat pesat dengan tindakan provokasi. 

Bagi saya sebenarnya tidak boleh terpancing dan mengulang kejadian masa dulu yang menyedihkan. Karena sebaliknya kejadian di Ambon adalah Anugerah Tuhan supaya kita bisa menjaga ketertiban dan saling bergandeng tangan.

Konflik membuat semua orang akan bersatu dan kita semua akan selalu mengingat kenangan manis pahit yang terjadi. Sayayakin, kita akan bersama, berpelukan dalam kedamaian dan memulai hal baru untuk bangun kota Ambon.

Semua kejadian ini selalu “ada sidik jari Tuhan,” maka sekarang jagalah hubungan kekerabatan, pela Gandong baik-baik dan mari, bicara hati ke hati. Walau pun berbeda Agama tapi kita tetap SATU yaitu MALUKU DAMAIKAN AMBON. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

 
© Copyright 2035 de plume Moluccas
Theme by Yusuf Fikri