Kamis, 22 Desember 2011

Kemesraan dalam Sebungkus Nasi Kuning

Oleh Wirol Haurissa

Orang Ambon baku sayang. Kata sayang berkonotasi mesra.  Banyak orang mengaku saling sayang, namun tak banyak yang melakoninya secara tulus.  Apalagi, sayang  di sini tak ada hubungan dengan asmara.
Maryo Macho Nussy dan Iglyma Ghie Palembang adalah sebuah cerita baku sayang yang menggetarkan. Keduanya duduk berdekatan, di bawah langit malam Kota Manise. Ghie menyuap Maryo dengan santapan nasi kuning begadang.

Nyong dan nona Ambon beda suku dan agama ini, baru berkenalan di Baileo Oikumene. Esoknya, keduanya bertemu kembali dan langsung mesra. Oh, jangan salah sangka. Mereka berdua hanya mengekspresikan sukacita, bagai dua sahabat lama yang saling rindu.

Saya, Macho, Ghie, Christian Tomahu, Abdul Latif Tihurua, Tirta Triana, Elsye Syauta, Berry Nepa, Syarifah Alaydrus, Raisno Rumalutur, Mansur, Mustafa, George, Syaiful Wakano, Arifudin berkumpul di depan Baileo Oikumene Jalan Pattimura. Kami bersama-sama menjalankan aktifitas Coffee Badati.

Kami melakukan perjalanan mengunjungi pos-pos penjagaan di daerah perbatasan. Sebelum berangkat kami menyiapkan semua bahan-bahan yang akan dibagikan di setiap pos.

Saat itu, beberapa teman memilih menggunakan kendaraan roda dua dan lainya memakai mobil. Saya belum naik mobil, karena sambil menatap banyaknya kendaraan yang melintas. Saya berdiri terpana meilhat sahabat Yezco yang tak tenang.

 “Yesco lapar,” katanya.

Di atas mobil pickup. Yezco melahap nasi kuning. Walau makanan belum ludes, dia sudah turun sebab kami segera berangkat.  Nasi yang tak sempat dihabiskannya diserahkan kepada Macho. Ghi yang belum naik, meminta Macho menariknya ke atas mobil.

Di atas mobil dengan bak terbuka, Macho nampaknya akan menghabiskan sisa nasi kuning. Tiba-tiba Ghie memperlihatkan minatnya.

“Beta mau makan lai,” ujar Ghie.

Ghie dan Macho lantas berbagai nasi kuning. Keduanya duduk berdekatan, sedangkan kawan-kawan lainnya mengambil posisi di samping  kanan dan kiri.  Macho memberikan nasi bungkus itu kepada Ghie dengan wajah riang. Ghie langsung mengambilnya dan menyuap Macho. Maka berbalas-balaslah Macho dan Ghie.

“Pung enak apa jua, kalo katong hidup bagini,” cetus Ghie.

“Iya sodara e,” kata Macho.   

Kata-kata yang menyentuh hati kami semua.  Saya sendiri tak tahu apakah kalimat Ghie didengarkan teman-teman lain.

Malam itu saya merasa kebahagian bersama teman-teman. Kami tampak bersahabat, dan banyak pelajaran berharga. Senyuman, keceriaan Caca Salam/Muslim dan Nyong Sarani/Kristen membuat dalam sebuah perjalanan.  Kami berjumpa, kami berdialog, satu percaya satu.

Perbedaan tidak lagi menjadi penghambat. Kemesraan Macho dan Ghie menjadi seindah bunga di taman. Macho si cowok Benteng, adalah sosok  yang luwes bergaul dan dinamis. Sedangkan Ghie adalah nona Waihaong yang murah hati dengan senyum yang natural. Paduan yang indah.

Di perjalanan itu,  kami sempat diskusi kecil-kecilan. Ghie  menyebutkan, damai adalah situasi saling percaya, seperti keimanan.

“Ketika iman besar, maka apapun yang terjadi, kita tetap percaya. Karena itu adalah proses kehidupan. Mari lakukan dengan hati,” paparnya.

Macho juga punya pendapat.  Menurut dia, damai itu indah dan tidak ada manfaat bermusuhan.

“Katong samua bersaudara. Kalau katong bikin masalah, katong yang susah. Katong adalah damai.

Coffee Badati adalah cara kami berbagi. Bukan dilihat dari kopi, gula, kue, lagu  dan puisi.  Sebab ada yang lebih penting. “Menjadi bagian dari perjumaan itu, membuat saya senang bertemu siapapun,”  kata Pak Andi di kawasan Pohon Mangga, Air Salobar.

Perjalanan saya, Macho, Ghie dan teman-teman lain adalah sebuah keunikan. Saya bagai merasa ingin terus berada dalam perjalanan ini.  Perjalanan Coffee Badati yang mesra, tulus dan damai.  Bukan cuma Macho dan Ghie, tapi katong semua di Ambon.  Sebuah perjalanan menerobos perbedaan, dan selalu tiba di titik harmoni, damai sepanjang masa. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 de plume Moluccas
Theme by Yusuf Fikri