Kamis, 22 Desember 2011

Jilbab Merah Dekat Gereja

Oleh : wirol haurissa

Kerja kerja kerja. Maka banyak energi terkuras sejak pecah peristiwa Ambon 11911. Dua hari kemudian, saya ada di Baileo Oikumene. Rasa lapar melanda, dan seorang kawan mengajak makan. Entah apa namanya, makan jam tiga sore.

Ada pelangi di langit Ambon. Indah nian. Saya dan  Francesco ''Eko''  Albertho Sahulata menyeberangi Jalan Pattimura, dari area Gereja Maranatha ke Hotel Mutiara. Kami bukan ke restoran melainkan pedagang makanan gerobak dorong di jiku Jalan Dana Kopra, tepat di pintu keluar Hotel Mutiara, tengadah Bank Mandiri.

Sisa kantuk karena kurang tidur, capek dan tidak mandi membuat saya dan Eko terlihat kumal. Meskipun begitu kami tak peduli untuk duduk di belakang gerobak, sambil menyantap semangkok mie kuah dan bercakap-cakap dengan si abang penjual makanan.

"Abang tinggal di mana ?" 

"Beta tinggal di Tantui, " jawabnya.

"Abang bajual jauh e, "  Eko menimpali.

"Mau bagaimana lai, cari hidup samua ne,"  katanya lagi.

Saya dan Eko cepat saja melahap dan menghabiskan mie di mangkok. Segera setelah mie pada mangkok kami ludes, sisa rasa pedas di mulut, merangsang selara merokok. Eko meminjam korek api kepada seorang perempuan yang menjajakan rorok dalam keranjang plastiknya di samping gerobak penjual mie.

Seketika saya terpana pada sosok perempuan itu. jelas dia bukan lagi nona-nona muda. Pada saya, iya mengaku bernama Wa Baa, berusia 63 tahun dan tinggal di Batu Meja. Gurat ketuaan di wajahnya mengisyaratkan sosok pekerja keras.

Wa Baa mengenakan jilbab merah.  Bajunya batik lusuh yang motifnya sudah pudar. Celana kuning dan sandal coklat menyempurnakan profilnya sebagai pedagang asongan di jiku jalan itu. Walau nampak tua, ia terlihat tetap tegar dan setia menunggui daganganya.

''Dia pasti seorang perempuan Salam/Muslim, saya memastikan dari nama dan busananya.

Saya masih asik tenggelam dalam lamunan, ketika seseorang menyentuh tangan saya dan bertanya. ''Nyong tinggal di mana ?" Ibu itulah yang bertanya, ternyata.

''Saya tinggal di Halong, Mama,'' jawab saya.

''Sudah bekerja ?''

''Belum. Saya masih kuliah,'' kata saya lagi.

Kami lalu terlibat percakapan lebih jauh. Dari situ, Wa Baa pun lancar bercerita tentang hidupnya sehari-hari di Batumeja. Sebagai orang Salam, dia mengaku tidak cemas tinggal di Batumeja yang mayoritas orang Sarani.

Wa Baa bercerita tentang anak gadisnya yang bungsu, kini bersekolah di SMA Negeri 1 Ambon, sedangkan kakak-kakaknya berdagang kecil-kecilan.

“Sakarang dunia su paleng susah apalagi bapak sudah meninggal, lalu sapa yang mau biayai uang kuliah,” tuturnya.

“Nyong e, katong cari hidup ini susah jadi jang sia-siakan,”  tambahnya lagi.

Sejenak saya terpana pada luncuran kata-kata dari bibir Wa Baa yang terlihat garisan keriputnya. Hal itu menggoda saya untuk mengajukan pertanyaan yang sangat agak Sensitif. Sebelum kami kembali ke Baeleo Oikumene.

''Mama, ini kan masih suasana kerusuhan. Mama seng takut kah ?

''Beta baik dengan orang-orang Sarani dan orang Sarani baik kepada Salam,'' terangnya.

''Hidup ini harus atur bae-bae, tidak usah kaco-kaco kaya sakarang. Katong harus baku sayang, baku pegang tangan antar Salam-Sarani. Kalau lia di TV ada lagu gandong, beta rasa mau manangis  ingat keadaan sakarang” kata Wa Baa.

Masih banyak kata-kata yang ingin keluar dari mulut si perempuan tua berjilbab merah itu, namun saya dan Eko sudah harus kembali ke Baeleo Oikumene, tempat kami beraktivitas. Sambil bekarja, wajah Wa Baa, juga kata-katanya, terus terbawa.

Bayangan wajah perempuan tua dan tegar itu, mendorong  saya mengetik kisah kecil  ini. Seorang perempuan tua berjilbab merah, menjinjing keranjang rokoknya di sekitar kompleks Gereja Maranatha. Sambil menggerus hati saya dengan kata-kata penuh damai. Wa Baa, perempuan damai. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 de plume Moluccas
Theme by Yusuf Fikri