Kamis, 22 Desember 2011

Hujan Berkat Untuk Badati Damai

Oleh : Wirol Haurissa

HUJAN rintik-rintik berganti panas. Tepat pukul 17.00, saya dari Balitbang menuju Gong Perdamaian Dunia di Ambon. Dengan sepeda motor, Rifky Santiago membawa saya ke sana, untuk mempersiapkan acara Badati (bage-bage dari timur) yang digerakkan anak muda Muslim dan Kristen.

Di Gong Perdamaian, matahari bersinar dan hujan reda. Cahayanya menikam tajam. Saya masih sendiri karena Rifky pergi ke The Street, café di Jalan AY Patty.

Saya menunggu teman lain. Fileks Talakua dan Frans Nendissa datang membawa baliho berwana biru bertuliskan Refleksi Badati. Kami bertiga pun memasangnya di kedua tiang tempat duduk berwarna kuning dan hijau.

Sambil memasangkan baliho, dari kejauhan, Ipeh Alaydrus, Arief, Christian Tomahua dan teman-teman lain. Mereka berhenti sejenak di halte yang baru dibangun. Saya bingung , mengapa mereka berhenti. Oh, ternyata hujan datang lagi.

Saya memandang langit lalu berpindah ke arah monument Pattimura. Mata saya menatap sebuah fenomena alam “pelangi” indah di kota Ambon “inilah janji Tuhan bukan untuk hujan namun untuk damai dalam kasih.

Hujan berhenti, lalu kami bekerja. Saya kembali ke Balitbang. Malam pun datang. Saya melihat para muda dari Kate-Kate tiba di Baileo Oikumene. Mereka nampak antusias. Sementara di Balitbang, hujan turun lagi.

Hujan tak mematahkan semangat kami. Johan Lakburlawal dan Rey Latumeten datang mengambil peralataan dan kembali ke tempat acara. Berselang beberapa menit hujan berhenti. George Marcel menemani basudara dari Kate-Kate menuju Gong Perdamaian.

Saya masih menunggu di Baileo Oikumene. Rasa lapar menuntun saya pergi makan di tenda biru nasi kuning. Berturut-turut, Rudi Fofid dan Jacky Manuputty datang. Kami bertiga duduk. Setelah selesai makan, kami menuju Gong Perdamaian. Hujan turun terus-menerus. Saya, Rudi Fofid, Jacky Manuputty berjalan kaki. Sambil cepat jalannya, saya mengatakan kepada Jacky Manuputty.

“Bapa tutup kapala, tar lama sakit”

Jacky menjawab santai. “Lia gunung tana lalu game-game.”
Perjalanan kami dipenuhi canda tawa. Jacky menyanyikan “Hujan Berkat kan Tercurah”.

Sambil ikut bernyanyi, tibalah kami di Gong Perdamaian dengan kegembiraan. Saya masuk area gong untuk kedua kalinya. Di situ saya bertemu dengan basudara Muslim-Kristen.

Hujan besar dan tempat untuk bersilah menjadi basah. Fransceco Sahulata dan Ronny Tamaela membersihkan lantai. Saya mengikuti mereka dengan irama lagu-lagu Ambon. Saya meminta Ronny bergantian dengan saya menyelesaikan pekerjaan itu. Di antara aktifitas membersikan lantai, teman-teman lain sedang berbicara berdua, bertiga dan berempat, bahkan berlipat-lipat dalam perjumpaan yang dilakukan sampai pekerjaan selesai. Saya berjalan ke arah Muhammad Latupono dari Air Besar dan bersama Jack dan Arap Tomasoa dari Mangga Dua.

Jam 08.28, momen yang ditunggu-tunggu dimulai. Micky Joseph mulai mengajak basudara jantong hati duduk bersilah beralaskan koran. Dari berbagi pos dan komunitas mengambil tempat dengan manggunakan pita.

“Badati untuk damai” dimulai dengan laporan panitia yang disampaikan Rais Rumalutur. Acara pun mengalir, dengan narasi damai “Nilai SMS Almascatie” oleh Aprino Berhitu. Dia menggambarkan persahabat dan hubungan antara basudara Muslim dan Kristen. Keduanya saling menyapa.

“Saya mencintai keluarga kamu. Jagalah baik-baik mereka”

Puisi oleh George Marcel dan Ghi Palembang di tuturkan. Sungguh menyejukan hati dengan gaya mereka berdua yang berbeda”Di Sebuah penantian” merindukan kekasih yang mendamaikan.

Sesaat selesai membacakan narasi, hujan turun kembali, namun teman-teman dan basudara Muslim Kristen tetap bertahan.

Refleksi dimulai dengan Weslly Johannes mengajukan tiga pertanyaan dan respon serta carita-cerita tentang kejadian 11 september menjadi pelajaran bagi kami semua. Saya masih mengingat kata Rido Pattiasina.

“Biarlah tangan anak saya menjadi tumbal untuk kedamaian kota Ambon,” paparnya.

Teman-teman dari pos-pos jaga, mengisi refleksi badati menjadi kenikmatan kopi. Saya sempat mendengarkan seorang muda bernama Ali Topan dan seorang perempuan Muslim berkata tentang damai

“Damai itu katong jadi mari berdamai dulu," Soal urusan rumah, panci, tacu dan peralatan dapur urusan belakang. Damai dari hati. Kita ini, biar muka itam, yang penting hati putih”.

Hujan berhenti dan sambil berdiri, saya diberikan satu batang lilin oleh Fanny Diaz. Saya pun membakarnya. Lilin dinyalakan. Semua peserta memegang lilin dalam suasana doa dari Bahasa Tana oleh Rudi Fofid dan Bahasa Indonesia Elsye Syauta.

“Pasawari Damai.” Esa: Harori sou wauwe uwa, kupa naim upu upu, inaku amaku, hua asa aman, mau tampa siri mau inu lala, saka eti

“satu: biaralah sumpah persaudaraan yang diucapkan lidah Datu-datu dan para leluhur kami dari negeri asal kami baik dalam tampa siri atau minum darah tetap terjaga”.

Tak tersadar saat membacakan doa dalam bentuk puisi, burung-burung berterbangan di atas mereka. Ketika doa masih dipanjatkan.

“Eti’i yami, yami ana’i alifuru, ana’i upu taholaini upu yama esse nunu jela lahui unu nusu asa ku, yami peki hena masa hiti’i Toan Agong Nen Butri Dit Sakmas yami anai Malessy Kabasarang Atuf, malona kabaressy Etnebar sei yami olo’o latane, kura wahe lanite Nusa Ina, Uliaser, Nusa Aponu, Nusahalawanno, Evav, Etnebar, Bela, Tuban, Goa, esa tana, esa aman, esa lala!

Inilah kami, kami anak cucu Alifuru, anak matahari dan ibu bulan dilahirkan dari Unu Nusa Asa Ku, kami para pemegang hukum adat yang dibawa Dipertuan Agung Ratu Dit Sakmas, kami para penerus pahlawan besar Atuf, laki-laki pemberani dari tanimbar, siapapun kami yang menapaki latane, dan menjunjung lanite, Nusa Ina, Uliaser, Nusa Aponu, Nusahalawanno, Evav, Etnebar, Bela, Tuban, Goa, satu tanah, satu negri, satu darah!

Bulu kuduk saya berdiri mendengar bahasa nenek moyang ini. Lalu kami mengheningkan cipta untuk orang-orang yang menjadi korban konflik di Maluku, khususnya di Ambon dan para pahlawan perdamaian.
Begitu nikmat syair-syair yang di bacakan. Sangat menyentuh di tengah kegelapan.

"Lilin itu matahari dan semua pun membakarnya menedukan air hujan”

Para muda dari Cidade Amboina bernyanyi tentang damai. Dalam lagu mereka mengajak “basudara untuk berpelukan dan menjatuhkan parang”. Saya berdiri dekat Maryo Nussy. Maryo sempat berkenalan dengan Wiwi, gadis manis berjilbab. Sambil saya melihat laga Maryo menanyakan nama perempuan itu. Keduanya terlibat percakapan pendek, sampai akhirnya Wiwi harus masuk ke area panggung untuk mementaskan teater embun.

White for Peace. Mereka masuk gerak olah tubuh masing-masing. Terlintas oleh pengamatan saya dua pasukan berperang saling berlawan dan akhirnya berdamai. Suara terdengar dari pemain Teater Embun, meneriakkan“Beta Pattirajawane yang dijaga datuk-datuk”.

Momen penting ini telah selesai namun kenangan damai berkumpul orang basudara Muslim Kristen tetap menjadi sukacinta kita bersama untuk Ambon yang damai.

Saya dan beberapa teman bersyukur dalam doa yang dipanjatkan Ghi. Kami lalu berjalan menuju Litbang. Saya dan Rudi memilih berjalan kaki sedangkan yang lain menaiki mobil pikc up.

Maryo dan Rey berjalan di belakang. Dengan suara nyaring di belakang kami, Maryo membacakan puisi yang tadi dibacakan Rudi. Sepanjang jalan dari depan pos tentara sampai Baileo Oikumene, Maryo terus menggema dengan lantunan suaranya.

“Tahuri kolo lae murkele latane, lanite, saka messe ite hala makina eti aman” Tahuri sudah babunyi di Binaya, Tifa sambut dari Murkele, Bumi, langit, jaga dan petahankan maksud bae katorang dalam negri ini”

Ada beberapa orang mendengarkannya dan berkata: “bala nyong jang ragu-ragu”. Di atas sepeda motor yang dikendari oleh orang-orang tidak di kenal menikmati suara Maryo. Mereka melambaikan tangan dan kaget.

Sampai di Baileo, waktunya kami harus berpisah. Johan, Yezco, Shuresj mengembalikan alat-alat. Wajah lelah tapi hati damai. Saya masih melakukan tugas terakhir, mengantar seorang nona Ambon ke rumahnya. Hujan lagi. Kami meluncur di atas jalan aspal yang licin. Saya merasa butiran hujan di kepala seperti mencurahkan damai. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 de plume Moluccas
Theme by Yusuf Fikri