Kamis, 22 Desember 2011

Perjalanan di Tengah Ketegangan

Oleh wirol haurissa

Kecerahan mentari menjadikan Ambon Manise menjadi kota indah di Timur. Berbagai aktivitas orang-orang lakukan dengan sentuhan kegembiraan. Tampak terasa saya ingin berbaur dengan mereka, dan waktu menujukan pukul 12.23 wit. Saya harus segara ke Gunung Mimpi.

Dari rumah, saya berjalan kaki menuju ke jalan raya. Tepatnya di depan Pos Latta, menunggu angkot dan menuju ke arah Terminal Mardika. Perjalan dipenuhi anak-anak, remaja, pemuda mau pun orang dewasa. Rasanya lama sekali, saya menunggu angkot yang lewat. Jalan begitu ramai namun tiba-tiba sepi.

Saya tak tahu apa penyebabnnya. Dengan tetap setia menunggu, angkot pun datang menghampir. Warnanya biru seperti biru langit yang tak ada awan. Dua jam lebih baru saya berhasil naik angkot. Dalam benak, ribuan pertanyaan belum terjawab. 


Sambil angkot berjalan. Saya menadapat kabar dari kakak yang berada di daerah pusat kota sudah tegang. Keinginan saya pergi ke Gunung Mimpi untuk BerSamPlas “bersih sampah palastik” ketika mendengar kabar di Waihaong dan Trikora tegang. 

Saya tahu dengan jelas hari ini "Minggu, 11 September 2011"orang-orang yang ramah berubah manjadi marah. Cuaca cerah diselingi dengan bertambah isu-isu provokasi yang menghancurkan. Saya sendiri tidak percaya akan isu tersebut dan tetap memilih ke Amahusu “Gunung Mimpi” melewati pusat kota.

Di pertengahan jalan. Saya berhenti di Tantui “Lampu Lima”. Angkot yang membawa saya dan penumpang lain telah berhenti, diikuti beberapa angkot dan mobil pribadi lain. semuanya berbalik dan tidak bisa melewati daerah Galunggung, Batu Merah.

Saya turun dari angkot dan berdiri di pinggiran jalan dmenunggu angkot yang lain. Dua kali menunggu, saya bertemu dengan seorang teman Muslim disekitar aera itu yang sama-sama menunggu angkot. 


Berselang beberapa menit, saya bertanya kepadanya.

“mau ke mana abang?”

“ke Galungung,” jawabnya.

Sedang bertanya. Dari kejahuan, angkot berwana merah berhenti di depan kami. Angkot jalur Hunu, kami berdua naik dan saya duduk dengan tenang sambil melihat di depan, kiri dan kanan. Betapa posisi saya berada di tengah orang-orang yang beda agama.

Mereka mamakai Jilbab dan kopiah. Rasa tegang yang jaraknya jauh, membuat pikiran saya tak tenang. Namun saya tetap memberanikan diri dan berbicara seperti biasa dengan mereka. Saya disambut baik karena mungkin raut wajah yang kelihatan seperti orang muslim. Mereka sendiri tidak tahu dengan kejadian di kota.

Sambil asik mendengar cerita mereka. Seorang ibu mendapat kabar lewat handphone.
 
“Kota sudah semakin tegang akibat meninggalnya seorang lelaki dari Waihaong,” kata ibu.

Kami yang berada di dalam angkot menjadi lebih tak tenang. Seoarang laki-laki dengan terburu-buru bertanya kepada ibu berjilbab itu?.

 “Ibu, lelaki itu dibunuh di Gunung Nona tapi hasil oktopsi lain kalau lelaki tersebut tak sadar dan menabarak pohon gadihu, langsung ke arah tembok rumah seorang masyarakat di situ”.

Mendengar hal itu, saya memilih tenang-tenang saja. Angkot yang saya tumpangi tiba-tiba berhenti di depan kantor Pajak Galunggung. Saya turun bersama orang-orang di dalam angkot. Ucapan “terima kasih” tidak lupa saya sampaikan kepada supir. Lalu berjalan kaki sepanjang turun-turun Batu Mareh. 

Saya tetap percaya diri dan terus berjalan. Di pertengahan turun-turun Batumerah, saya bertemu dengan orang-orang asing “tak dikenal.” Keadaan semakin tak menentu dan niat tulus membuat saya menyapa setiap orang di jalan supaya mereka bukan orang asing.

Masih tetap berjalan, dan bertemu seorang anak muda yang tidak saya kenal.

“abang apa yang terjadi sampai buat  banyak orang ada di jalan-jalan?” tanya saya.

“ada kaco di Waihaong,” jawab saya.

Perjalanan tidak sampai di situ. Saya lanjutkan perjalanan dan bertemu dengan seorang laki-laki tua dan bertanya.

“bapak ada apa e?”

“katanya, ada laki-laki orang Waihaong pacaran dan dipukul di Gunung Nona.” jawab si bapak.

“terima kasih bapak” sambung saya.
  
Saya tiba sampai di Mesjid Batu Merah. Dekat Toko Roti dan bertemu seorang bapak lagi. dengan pertnyaan yang sama kepadanya.

“bapak, tahu kejadian di Waihaong k?”

“ ada lelaki Waihaong yang mabuk dan menabrak tempat sampah namun katanya ditikam”. Jawab si bapak.

Saya kaget dan suara lain dari seorang laki-laki muda menyambung pembicaraan kami.

“biar keluarga yang selesaikan saja jangan bikin masalah lagi.”

Saya bingung dengan jawaban-jawaban yang berbeda. Lalu saya melanjutkan perjalan selesai bertemu beberapa orang tadi menuju ke arah Swalayan Citra.

Di Citra, banyak orang jalur Baguala tidak bisa pulang. Mereka berkumpul di pinggiran jalan bersama aparat keamanan. Saya melewati citra menuju Tanah Tinggi dan bertemu seorang perempuan muda.

“usi ada apa ini?”tanya saya. 

“sudah kaco di Waihaong karena ada seorang laki-laki tatabrak di Gunung Nona saat pulang pacaran, dia tabrak tempat sampah dan kayu tertancap di punggungnya.” Jawabnya.

Pertanyaan muncul di benak dan belum terjawab dengan beberapa versi tentang korban tersebut. Kejadian yang menimbulkan konflik di Ambon. Kejelasan dari berita yang saya baca juga berbeda.

Di TV, Kapolda memperjelas bahwa laki-laki tersebut, murni kecelakan. Saya berpikir lagi dengan banyak pertanyaan tentang kejadian yang menimbulkan konflik "murni atau tidak?". Saya menemukan banyak hal hari itu dan keadaan tak bisa diterima keluarga, teman-taman akibat meningggalnya kerebat mereka.

Saya tahu bahwa kejadian tersebut bukan konflik agama tapi konflik dari kepentingan-kepentingan pribadi atau ketidakpuasan orang-orang yang tak bertanggung jawab, sehingga agama di politisasi. Banyak isu yang beredar namun apa pun isunya, percayalah hubungan baik yang terutama. 

Memang banyak versi yang berbeda tapi marilah kita tetap bersama. Sambil menulis kata-kata ini di buku catatan. Saya melanjutkan perjalan ke Hotel Amboina. Dari jauh saya melihat ke arah Trikora. Begitu banyak orang di jalan. Beberapa langka melewati hotel dan menuju ke aera kejadian, suara mengamuk dan baku lempar terjadi antar kelompok masa.

Saya melihat begitu banyak masyarakat berpartisipasi untuk menjaga daerah tempat tinggal mereka. Ibu-ibu dan anak-anak muda serta bapak-bapak ikut serta di dalamnya dan mereka memecahkan trotoar di depan rumah Kopi Tikora dan Toko Tobias.

Baku lempar terus berlangsung. Tiba-tiba, saya mendekati seorang anak muda dan bertanya kepadanya.

“tamang kenapa ale iko-iko baku lempar?”

“dari pada kecolongan,” jawabnya.

Saya menerima alasannya dan melihat apakah ada pihak kemanan atau tidak kerana di tempat kejadian hanya lima petugas yang mamakai baju coklat, celanan coklat dan rompi berwarna hijau. Pengamanan belum terlihat saat terjadinya baku lempar. Suara kekecewan dari seorang bapak sempat saya dengarkan.

“Sudah dua jam tidak ada bantuan dari pihak keamaan karena mungkin petugas sedang tidur.”

Petugas yang berada di tempat kejadian hanya menonton. Kemudian saya tetap berdiri menyaksikan panasnya kota Ambon. Lalu satu trek berwarna coklat yang di dalamnya terdapat beberapa personil aparat berbaju coklat dan celana coklat mengenakan senjata lengkap turun dari mobil dan mengamankan situasi yang tidak bisa dikendalikan.

Bukan hanya suara orang, suara tembakan juga mengiringi kejadian saat itu. Semakin ramai saja sehingga membuat Kapolda turun ke tempat TKP dan beberapa menit, Gubenur Maluku tiba. Baku lempar dan situai berubah menjadi lebih tegang dengan sebuah mobil Avanza dan mobil Box terbakar.

Gubenur, Karel Alberth Ralahalu masih berada di tempat kejadian. Beliau dikawal para petugas dan keadaan mulai membaik, ketenangan mulai dirasakan. Tak terlalu lama kwaktu penenangan jalur samping rumah kopi ke arah AY Patty. Tak sadar jalur PLN ke arah PGSD terjadi baku lempar, diselingi bunyi tembakan berulang-ulang.

Seperti film Inda saja dan artis sudah banyak di Ambon. Skenario yang bagus untuk dinikmati dunia luas dan kita sendiri seakaan sudah diseting dengan baik. Semuanya mulai terkendali, bantuan keamanan tiba, dan Walikota baru datang.

Tentara, dua trek, panser berwarna hitam dan hijau berdatangan. Masyarakat di suruh pulang dari petugas yang memakai baju loreng tapi masyarakat tidak percaya dengan aparat lagi. Masyarakat tetap bertahan dan ikut menjaga daerah tempat rumah ibadah karena ketakutan mereka akan terjadinya hal-hal yang tidak disangka. Sama dengan beberapa tahun lalu.

Masyarakat tetap bertahan. Saatnya saya ingin bergegas pulang karena banyak setan penghancurkan. Keadaan sudah membaik. Saya pulang dan akhirnya sampai rumah. Saya berpikir merelakan apa yang sudah terjadi menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat kota Ambon. Namun isu-isu berkembangan sangat pesat dengan tindakan provokasi. 

Bagi saya sebenarnya tidak boleh terpancing dan mengulang kejadian masa dulu yang menyedihkan. Karena sebaliknya kejadian di Ambon adalah Anugerah Tuhan supaya kita bisa menjaga ketertiban dan saling bergandeng tangan.

Konflik membuat semua orang akan bersatu dan kita semua akan selalu mengingat kenangan manis pahit yang terjadi. Sayayakin, kita akan bersama, berpelukan dalam kedamaian dan memulai hal baru untuk bangun kota Ambon.

Semua kejadian ini selalu “ada sidik jari Tuhan,” maka sekarang jagalah hubungan kekerabatan, pela Gandong baik-baik dan mari, bicara hati ke hati. Walau pun berbeda Agama tapi kita tetap SATU yaitu MALUKU DAMAIKAN AMBON. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 de plume Moluccas
Theme by Yusuf Fikri