Minggu, 25 Desember 2011

Selalu Ada Rasa Manis Di Ambon

Oleh : wirol haurissa


Hidup bagai roda yang terus berputar. Datang dari masa lalu ke masa kini dan terus ke masa depan. Matahari terbit dan tenggelam di Tanah Ambon. Banyak perjumpaan terjadi, kendati juga dibumbui suka dan duka.

Hari Rabu, 14 Desember 2011 pukul 23.00 malam, saya bersama John Lakburlawal, Alberth Akollo, Maryo Nussy, Rey Latumeten dikejutkan dengan info “keadaan Ambon memanas.”

Kami baru saja istirahat seusai membuat lukisan dinding di Kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Seorang Brimob yang berjaga di kampus bertanya kepada kami.

“Dong mau pulang ke mana ?”

“Maranatha,“ jawab saya.

Kami tahu, apa maksud Brimob tersebut. Saya dan teman-teman kemudian berjalan meninggalkan kampus di Jalan Ot Pattimaipau tersebut.

Kami melewati beberapa pos penjagaan aparat di Tanah Lapang Kecil. Nampaknya, penampilan aparat agak berbeda. Biasanya mereka duduk santai tanpa senjata di tangan. Malam itu, mereka berjaga menggunakan senjata lengkap. Semakin jelaslah bagi kami, bahwa malam ini, wer seng bae.

Di tengah jalan, dalam kegelapan malam dan warna temaram, kami merasakan ada ketegangan di berbagai tempat dalam kota. Terus terang, kami merasa takut juga berada di kota tercinta ini.

Tapi kami terus berjalan ke arah pertigaan Gereja Rehobot. Di sana, terlihat orang-orang berkelompok di sisi jalan. Wajah-wajah mereka sangat serius.

Kami berpisah di pertigaan Rehoboth. Saya tetap bersama John sedangkan Maryo, Alberth, dan Rey ke tempat tinggal mereka di Kudamati dan Air Salobar.

Saya dan John melintas daerah Batu Gantung menuju Petak Sepuluh. Orang-orang ramai di sepanjang jalan. Mereka nampak tegang dengan beragam informasi simpang-siur. Kami bisa mendengar dari suara mereka yang ngobrol secara berkelompok.

Kami berjumpa Andre Peruru, seorang rekan yang ingin pulang ke Skip. Saya menyatakan niat melewati Waihaong. John keberatan karena kelelahan dan ingin cepat-cepat tidur. Sebab itu dia naik ojek. Sedangkan Andre memilih berjalan kaki melewati Kampus PGSD di Jalan Dr Latumeten.

Saya berjalan kaki, sendiri saja ke Waihaong melalui Perigi Lima. Tak disangka, saya berjumpa seseorang yang sepertinya sudah saya kenal. Pemuda itu juga menatap saya, dan nampaknya dia ingin mengatakan sesuatu.

“Ale ini, ibu guru punya anak, kan ? Masih kenal beta ?” katanya.
Saya mengangguk, sambil menerawang ke masa lalu. Saya memang mengenalnya.

“Ale nama Idris, kan ?” Saya ingat sekarang. Saya dan Idris adalah sahabat masa kecil di SD Hang Tuah Halong. Sudah 12 tahun kami tak pernah berjumpa, sejak lulus SD.

Kami bersalaman dan sama-sama merasa senang atas perjumpaan ini. Idris mengaku tinggal di Kampung Pisang, Poka. Kami menyusuri sepanjang jalan Waihaong. Tiba-tiba sahabat asal Buton itu menawarkan supaya kita mencari sesuatu untuk dimakan.

Kami berdua memilih makan sate gerobak di sisi jalan, sambil bercerita tentang masa lalu sampai masa kini, tentang studi dan situasi Ambon. Setelah itu, saya dan Idris melangkah perlahan, sampai berpisah di Jalan Kapitan Jongker.

Saya tiba di Jembatan Pohon Puleh, terus sampai ke Tugu Trikora. Orang-orang dan aparat keamanan terlihat di ujung Jalan Air Mata Cina, Lorong Pohon Puleh, Jalan Baru, Lorong Kolonel Pieters.

Saya melanjutkan perjalanan sampai di depan Hotel Amboina. Fileks Talakua muncul mengagetkan saya.

“Bagaimana bro, keadaan kota ini ?” ujarnya

“Baik-baik saja. Hanya ada banyak orang di pinggir jalan,” jawab saya.

Sampai di Bailoe Oikumene, ke ruang Balitbang, saya kembali dengan John. Sejenak duduk, saya langsung istirahat menunggu besok untuk beraktivitas lagi. Saya bersyukur hari ini bisa menyelesaikan beberapa tugas, dan yang paling berkesan, bisa bertemu sahabat masa kecil Idris, justru di Waihaong pada saat malam sudah larut dan tak ada lalu-lalang orang di situ.

***
Matahari menyinari Kota Ambon, 15 Desember 2011. Saya harus ke kampus mengikuti kuliah, namun ketika keluar di Balitbang GPM, saya melihat kerumunan orang di jalan dengan suara-suara keras.

Saat mendekat, saya tahu ada sopir-sopir angkot dan orang-orang lain berdemonstrasi. Mereka melewati beberapa ruas jalan di Ambon. Mereka berhenti di Pos Lantas, melampiaskan emosi pada rambu-rambu lalulintas. Mereka melanjutkan aksi di Kantor DPRD Kota Ambon.

Rupanya, mereka ini adalah para sopir angkot dan keluarga dan kenalan Rivaldo Petta. Rivaldo adalah sopir angkot Kudamati, yang tewas setelah ditusuk orang tak dikenal.


Alex, juru bicara demonstran tampil ke muka. Dia mempertanyakan jaminan keamanan di Ambon. Kemarahan dan kata-kata yang keras dilontarkan. Ketua DPRD Kota Ambon Rein Roumahu merespon tuntutan mereka.

“Kami akan mengundang Kapolda, Kapolres, dan Dandim untuk rapat bersama membicarakan tuntutan ini, dengan mengikutkan perwakilan pendemo,” katanya.

Di Polda Maluku, demonstran juga menuntut penegakan hukum. Kapolda Syarief Gunawan berjanji akan mengusut kasus penusukan Rivaldo Petta.

Ketua Sinode GPM John Ruhulesin juga hadir di Mapolda. Ia menyerukan demonstran tetap menjaga keamanan, sambil mempercayakan penegakan hukum kepada pihak kepolisian.

Keadaan memanas sekitar pukul 11.40, ketika aparat brimob dan tentara bersenjata lengkap berupaya menghindari gesekan massa sepanjang perjalanan pulang. Hampir satu jam, aparat bekerja mengarahkan pendemo untuk kembali ke Kudamati.

Saya pulang dan merasa lebih tenang. Walau kondisi Ambon tidak nyaman akibat hiruk-pikuk demonstran yang emosional, terasa damai tetap ada. Orang-orang tetap berbaur di tempat umum, rumah kopi, bank, pasar dan sebagainya.

Ketika banyak orang pesimis dan sedikit “memarahi” warga Ambon melalui jaringan media sosial, saya merasa jalan-jalan terang masih tetap terbentang luas. Di tengah suasana yang panas, saya menikmati betul Kota Ambon yang tak hanya manis dalam lagu, melainkan juga dalam perjumpaan setiap hari dengan beragam orang. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 de plume Moluccas
Theme by Yusuf Fikri