Kamis, 22 Desember 2011

Menjaring Gosip di Kota Damai

Oleh : wirol haurissa

Sebenarnya, Ambon Manise adalah kota yang damai.  Di sini, semua orang adalah sahabat dan saudara. Ke manapun pergi, pasti berjumpa orang-orang yang akrab karena saling kenal.  Tegur-sapa yang natural adalah sebuah tanda. Tak sembarang orang bisa mati sia-sia. Kalau satu orang saja mati, itu menjadi berita besar di media.

Walau konflik pernah meluluhlantak kota ini, namun kedamaian telah menjadi karakter dan cita-cita sepanjang masa. Tak ada orang Ambon yang ingin bernafas dalam perang yang bodoh. Sebab itu, pasca peristiwa 11 September, aura damai menebar di mana-mana.

Tapi memang, sepotong gosip masih ampuh mengusik kedamaian di Ambon. Seperti hari itu, saya masih bekerja dengan teman-teman di Batlibang GPM, di Baileo Oikumene. Udara panas di ruang tanpa AC itu. Angin dari cela kaca, tak mampu membawa kesejukan. Tapi seperti biasa, kami tetap bekerja walau kadang terlambat makan, dan tidak mandi.

Pukul 15.03 wit,  seorang teman. Frests Mouw datang dengan wajah tegang.  Saya menangkap sesuatu yang tak beres.  Tapi dia juga tak bisa memberi penjelasan.

“Ale turun lalu lihat saja,” katanya. 

Saya langsung meninggalkan kantor Balitbang GPM. Begitu sampai di Jalan Pattimura, situasi bagaikan pasar. Ramai luar biasa. Saya terus berjalan sampai bertemu Aprino Berhitu dan Mario Nussy.  Keduanya nampak serius, tak ada senyum.

Kami bertiga menyaksikan arus manusia yang panik. Mereka datang dari arah Plaza Ambon dan terminal Mardika menuju Gereja Maranahta. Maka Aprino dan Mario memutuskan bergerak ke Plaza Ambon, sedangkan saya mengecek ke Terminal Mardika.

Saat berjalan di tengah keramaian, saya mencoba mengorek informasi dari seorang anak muda.

“Katanya ada baku lempar di terminal,” terangnya.

Orang-orang terus berlari. Saya kembali bertanya pada beberapa orang dalam perjalanan ke terminal, dan  mereka memberi jawaban yang sama, tidak tahu.

Semua orang nampak gelisah, ditambah hari semakin panas. Orang-orang mengeluarkan komentar-komentar pendek tentang kejadian di terminal. Saya mempercepat langkah.

Di dekat terminal, seorang ibu-ibu berkerudung nampak mengomel tentang keadaan itu. Sementara udara kian panas. Para pedagang, sopir, tukang ojek dan tukang becak berkerumum di satu titik. Wajah-wajah mereka terkesan lelah dan lesuh sekaligus marah dan kecewa.

Sebelum memasuki terminal, saya tersentak. Seorang perempuan dan anaknya yang masih kecil, membawa karung besar sambil memikulnya dan berlari kelelahan. Ternyata di dalam karung itu terdapat berbagai bekas minuman plastik. Sambil memikul karung, ia mengendong anaknya.

Sepanjang pinggiran kali nan indah menuju ke terminal, saya keget ketika tiga perempuan berjalan dari terminal menuju jembatan dekat kantor Pekerjaan Umum, saya pikir mereka tahu kejadian di terminal. Makanya saya langsung bertanya, apa gerangan yang terjadi. ''orang mabuk,'' jawab salah satunya.

Di terminal, saya mulai pada fokus pencarian. Apa penyebab utama kepanikan ini. Seorang pria mengatakan, kepanikan di terminal bermula dari adanya kasus pencurian.

''Ada orang pancuri,'' terangnya.

Pukul 15.16 wit, saya melihat seorang anggota intel. Kami dua berpapasan. Dia  lantas berbicara dengan para pedagang di sana. Saya berdiri di belakang si intel sambil terus mengikutinya. 

Ketika intel mengorek informasi, saya juga bertanya ke pedagang lainnya.  Seorang bapak ragu-ragu memberi jawaban. 
Tapi seorang perempuan di sampingnya memberi keterangan.

“Ada empat perempuan baku tola di sini.  Ada beberapa ibu dari arah berlawan melihat dong empat, akhirnya ibu-ibu itu berbalik arah dan lari diikuti keempat perempuan itu. Angkot lin III dan Kudamati pun melaju keluar terminal dengan cepat, akhirnya semua mengikuti rame-rame berlari,” jelas perempuan itu."

Cerita perempuan tadi menarik perhatian intel tadi. Dia bergeser dan akhirnya mengajukan pertanyaan kepada perempuan cantik penjual pakaian itu. Melihat itu, rame-rame para pedagang mendekati intel, dan menjelaskan sebab-musabab kepanikan di terminal.

Cuaca masih tetap panas. Wajah-wajah tegang terlihat di mana-mana. Saya memutuskan meninggalkan terminal. Kali ini, banyak kepala terlihat mengarah ke angkasa. Gumpalan asap hitam dari arah hotel Golden telah mengalihkan perhatian semua orang.

Isu makin kencang dan wajah orang-orang makin tegang.  Saya mendekati titik api. Gumpalan asap ternyata berasal dari toko bangunan, yang menyalakan bagaikan batu bara di dapurnya.

Saya kembali ke Balitbang GPM. Kawan-kawan ada di sana bersama banyak orang yang tidak saya kenal. Saya menenangkan diri dengan mengatur pernafasan.

“Bung, apa yang terjadi di terminal,”  mereka bertanya.

Saya menjelaskan bahwa situasi terminal aman dan terkendali. Saya merinci sebab-sebab kepanikan di terminal dan semua kawan lega.

Ketika mengaktifkan internet, saya melihat teman-teman diluar Ambon menulis difacebook.  “Ambon e, kanapa kaco lai, belum-belum damai lai.”  Tak lama menunggu saya Saya langsung  menulis status di facebook. “ Ambon aman dan terkendali | salam damai dari timur Ambon.”  Saya pun terus memberi informasi dengan menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Orang-orang puas dan ketika tiba pukul 16.00 wit, situasi sudah kembali normal.

Senja akhirnya datang dan inilah kesempatan bagi semua yang tegang untuk menenangkan diri. Saya dengan kawan-kawan anggota tim Provokasi Damai. Bung Wessly Johannes, Aprino Berhitu, Ipeh Alidrus, Ronny Tamaela, Imanuel Souhaly, Tommy Renleuw, Maryo Nussy.

Malam pun turun membungkus. Langit Ambon jadi hitam tapi penuh bintang. Sukacita melanda kami sebab di antara kami, ada Ipeh Alidrus.  Dia menjadi bintang sebab hanya dia perempuan dan juga Muslim.

Kami memilih makan malam di Jalan A.Y. Patty, di rumah makan Coto Anda yang terkenal. Di sana sudah ada Bernhard Matheis dan Stanley Ferdinandus. Almascatie Be dan Azis Tunny datang bergabung. Jadi ramailah kami di sana.  Apalagi, empat pemuda Muslim datang menghampiri. Di antara mereka beremapat, saya hanya mengenal seseorang, Irfandi  dari Teater Embun, tiga temannya lain tidak saya kenal.  Mereka mengamen, menyanyikan lagu-lagu damai untuk mengumpulkan dana bagi para pengungsi.

Kami duduk bersama menikmati makanan dan bercerita penuh tawa dan kegembiraan.  Sungguh kami melupakan kepanikan siang tadi, bahkan konflik beberapa hari lalu. Pendeta Jacky Manuputty dan Nyora Louise Maspaitella datang membuat kami seperti sebuah tim tangguh.

Kami bercerita tentang situasi Ambon, bercanda tentang kepahitan maupun kekonyolan kami sendiri. Kami merasa kemesraan sebagai berkah dari langit.  Betapa jangan berlalu kemesraan ini, bukan saja di antara kami, melainkan untuk seluruh kota.

Perpisahan tidak terelakkan. Kami pulang dengan hati damai, melintasi jalan-jalan kota yang sunyi, tetapi menyimpan banyak kenangan manis. (Penulis, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku –UKIM – Ambon)

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 de plume Moluccas
Theme by Yusuf Fikri